Amar Ma’ruf
Nahi Munkar Dalam Keluarga
Mungkin semua kita sudah memahami
bahwa setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Termasuk juga seorang suami dalam keluarga, adalah pemimpin dalam keluarga yang
akan dimintai pertanggung-jawabannya terhadap
keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa: 34)
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Setiap kalian adalah orang yang
bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang
imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya
dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab
terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya”
(HR. Bukhari 893, Muslim 1829).
Namun banyak yang belum memahami
bentuk kepemimpinan seorang suami dalam keluarga. Sehingga ketika terjadi
kesalahan yang penyimpangan yang terjadi di dalam keluarga, sebagian suami
mentoleransi hal tersebut dan tidak merasa itu bagian dari tugasnya sebagai
pemimpin. Misalnya ketika seorang istri atau anak perempuannya tidak berjilbab,
suami berkata: “saya sebenarnya ingin mereka berjilbab, tetapi saya tidak
memerintahkan mereka, biarlah kesadaran berjilbab datang dari diri mereka
sendiri“. Atau ada juga suami yang merasa tugas kepemimpinannya hanyalah
sekedar “memberi tahu”, semisal ketika anaknya berpacaran (dan pacaran adalah
maksiat), ia berkata: “sebenarnya saya sudah sampaikan kepadanya bahwa
pacaran itu tidak baik, namun ia sudah dewasa, biarlah ia memilih apa yang
menurutnya baik“. Secara common sense saja sebetulnya kita mengakui
bahwa yang demikian itu bukanlah pemimpin, atau kalau mau dikatakan pemimpin
pun maka pemimpin yang lemah.
Wajibnya Amar Ma’ruf Nahi
Munkar Dalam Keluarga
Ketahuilah amar ma’ruf nahi mungkar
sejatinya wajib bagi semua individu muslim, entah ia sebagai anak, istri
ataupun belum berkeluarga. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
الدين النصيحة قلنا : لمن ؟
قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama adalah
nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya”
(HR. Muslim, 55)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam memerintahkan kita beramar-ma’ruf nahi-mungkar kepada semua
Muslim, dengan tangan jika mampu, apabila tidak mampu maka menasehati dengan
lisan atau minimal dengan hati:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن
لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان
“Barang siapa yang
melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka
ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu
adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, 49)
Dan amar ma’ruf nahi
mungkar dalam ruang lingkup keluarga itu lebih ditekankan lagi wajibnya, Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang
yang beriiman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At Tahrim: 6)
Dan bagi seorang
suami di dalam keluarga yang ia pimpin, kewajiban ini menjadi lebih wajib lagi.
Mengapa demikian? Karena sudah atau belumnya ia mengerjakan amar ma’ruf
nahi mungkar dalam keluarganya akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat.
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian
adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan
akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap
keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari
893, Muslim 1829).
Dan seorang suami
asalnya adalah orang yang paling mampu untuk mengubah kemunkaran dalam
keluarganya dengan tangannya atau lisannya. Maka wajib bagi seorang suami untuk
memerintahkan keluarga untuk mengerjakan perkara-perkara yang wajib bagi
mereka dan melarang mereka dari hal-hal yang dilarang agama. Jadi perlu digaris
bawahi, hukumnya wajib, bukan sunnah bukan pula mubah. Dalam kitab Riyadhus
Shalihin, Imam An Nawawi membuat judul bab:
باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين
وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب
مَنْهِيٍّ عَنْهُ
“Bab wajib (bagi
seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah
mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan
ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan
serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang
dilarang agama”.
Ibnu ‘Abdil Barr
mengatakan:
فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما
بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل
لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله
“wajib bagi setiap
muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan
dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang
mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta
mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini
(perintah dan larangan)” (Al Istidzkar, 510)
Jadi tidak benar
seorang disebut “ulama” dan juga “cendikiawan Muslim” di negeri kita ini,
yang anaknya tidak memakai jilbab, yang berkata: “saya tidak pernah
memerintahkannya berjilbab, kalau ia mau berjilbab biarlah itu dari
kesadarannya sendiri“. Perkataan yang dianggap bijak oleh orang-orang awam
namun merupakan kesalahan yang fatal. Seolah-olah keshalihahan atau
kebobrokan keluarganya itu bukanlah tanggung jawabnya. Inilah yang disebut dayyuts,
yaitu suami yang tidak mengingkari kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan
keluarganya. Cukuplah dalam hal ini ancaman keras dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ
لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ
“Tidak masuk surga orang yang
durhaka terhadap orang tuanya, dayyuts (suami yang membiarkan keluarganya bermaksiat),
dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra
10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Al Jami’, 3063).
Berlaku Hikmah Kepada
Keluarga
Setelah mengetahui
kewajiban suami untuk beramar ma’ruf nahi mungkar kepada keluarganya, perlu
diketahui bahwa hal tersebut semestinya dilakukan dengan hikmah, bukan cara
yang serampangan atau kasar. Beramar ma’ruf nahi mungkar diniatkan untuk
memperbaiki dan menunjukkan kebaikan, bukan untuk menimbulkan kemungkaran lain
atau bahkan yang lebih besar. Demikianlah sifat amar ma’ruf nahi mungkar yang
benar kepada seluruh manusia secara umum. Terlebih kepada keluarga, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian
adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling
baik terhadap keluargaku” (HR. At Tirmidzi 3895, ia berkata: “hasan gharib shahih”)
Al Munawi menjelaskan:
“(aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku) yaitu dalam urusan
agama maupun urusan dunia” (Faidhul Qadhir, 3/496). Ibnu ‘Allan mengatakan:
“maksud dari (aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku) adalah
bahwa beliau adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarga beliau dan
paling sabar menghadapi mereka dengan segala perbedaan keadaan mereka” (Dalilul
Falihin, 3/105).
Maka seorang suami
yang bijak adalah yang senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap
keluarganya dengan cara-cara yang baik, penuh kelembutan, kesabaran dan
akhlak selain itu juga efektif, kreatif, solutif dan tepat sasaran sehingga
tidak menimbulkan friksi-friksi yang justru berujung pada kerusakan yang lebih
besar dari kemungkaran yang diingkari.
Hidayah Hanya Milik Allah
Sebagai penutup
bahasan ini, penting untuk diketahui bahwa hidayah itu di tangan Allah. Yang
menjadi tanggung jawab kita adalah proses, bukan hasil. Adapun hasil, itu
di tangan Allah. Kita diperintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar dengan
cara yang benar, adapun hasilnya apakah keluarga kita menjadi orang bertaqwa
ataukah tidak, kelak menjadi penghuni neraka ataukah surga, itu di tangan
Allah.
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Bukanlah
kewajibanmu apakah mereka mendapat petunjuk (atau tidak), akan tetapi
Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS. Al Baqarah: 272)
Sebagaimana kita
sendiri tidak bisa menjamin diri kita berada senantiasa di atas hidayah
Allah, kita juga tidak bisa menjamin dan memastikan seseorang untuk mendapat
hidayah Allah. Bahkan para Nabi pun tidak bisa memastikan hal tersebut pada
keluarga mereka. Ingat kisah Nabi Nuh yang anak-istrinya enggan mengikuti
ajakannya untuk bertauhid, juga kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yang ayahnya tidak mendapat hidayah untuk bertauhid, dan banyak lagi. Yang
dituntut darii kita adalah berproses, adapun hasil ada di tangan Allah.
Wabillahi at taufiq
was sadaad.