Translate

Jumat, 10 Februari 2017

Cerpen kisah nyata yang dimodifikasi sedikit :D



“ Ada Cinta Dibalik Persahabatan”

Tulisan ini aku persembahkan untuk orang tuaku tercinta, keluargaku, dan seseorang yang selalu memberi semangat serta inspirasi.

Saat itu hujan turun dengan derasnya, aku tak tau apa yang akan terjadi. Entah ini memang pertanda buruk, atau hanya firasatku saja yang terlalu terbuai oleh suasana turunnya hujan. Karena mungkin, pada setiap kejadian Tuhan memberikan pertanda dengan caranya sendiri. Ya, hujan deras ini misalnya. Saat itu aku masih asyik dengan lagu Agnes Monica yang mengalun lembut di earphone ku. Ya, aku suka sekali mendengarkan music dimanapun aku berada, pecinta music pop, dan juga music ballad. Saat itu aku duduk di koridor sekolah SMPN 2 Mojokerto, sekolah yang bisa dibilang favorit dan sudah melegenda di kota darimana onde onde berasal.
“ Vi, masuk kelas yuk! Udah mau bel nih” sapa teman sebangku ku, namanya Karin, cewek paling pendiem dan cengeng di sekolah ku. “Iya, kamu duluan ajar rin!” ucapku. Entah saat itu aku hanya ingin sedikit lebih lama di luar kelas, hatiku serasa ingin melihat suasana hujan sepanjang ia turun, seolah olah ia tak akan turun lagi nantinya. Tak terasa bel masuk sudah berbunyi, akupun bergegas dan beranjak memasuki ruangan kelasku. Sudah lima menit setelah bel berbunyi, Guru IPA yang biasa disapa pak Imron belum juga menampakkan wajahnya. Entah, tak biasanya guru ini telat masuk kelas, padahal selama ini setiap pelajarannya beliau selalu ontime bahkan belum bel masuk berbunyi saja beliau sudah menunggu di depan kelas sambil mengobrol dengan murid – muridnya.
Waktu terus berjalan, kini seisi kelas sudah mulai ramai bahkan bisa dibilang gaduh karena pak Imron belum dating juga. Ada yang curhat tentang pacar, ada yang menyanyi seperti di konser dangdut tingkat Asia, ada yang sekedar bercanda gurau dan bahkan tertidur pulas. Karena aku mulai bosan, akupun akhirnya mengajak Karin keluar kelas, “Rin, keluar yuk?!” tanyaku, Karinpun dengan semangat menganggukkan kepalanya. Entah ia sama sama bosan sepertiku, atau hanya sekedar ingin menemaniku keluar kelas.
Kami pun berjalan menelusuri setiap koridor kelas, “Mau kemana Vi?” ucap Karin, “Aku mau nemuin Randy sebentar rin, tunggu sini ya!” ucapku. Karin pun menunggu didepan kelas IX D yang kebetulan saat itu juga tidak ada guru, akupun lansung masuk seperti biasanya, karena mereka tahu aku teman dekat Randy, jadi mereka berpikir aku kesana hanya untuk bertemu dengan Randy. Aku dan Randy adalah sahabat dari kecil, bahkan sebelum kami menginjakkan kaki di bangku sekolah, orang tua kami bersahabat, jadi tidak heran aku dan Randy sudah bagaikan saudara kandung. Tidak hanya itu TK, SD dan SMP pun kami selalu bersekolah di sekolah yang sama, jadi apapun yang dilakukan, disukai, dibenci, atau hal hal sekecil apapun dari Randy aku menghafalnya diluar kepala.
Aku pun berjalan menuju bangku sahabat kecilku itu, namun aku tak melihat sosok Randy, karena saat itu bangku ia tertutup oleh kerumunan siswa yang sedang mengerjakan tugas oleh gurunya. Namun ada yang ganjal, Randy yang aku kenal rajin, pendiam, dan cool itu sedang tidak berada dibangkunya. Sungguh, ini pemandangan yang sangat jarang aku lihat. Tak biasanya saat jam pelajaran seperti ini dia tidak duduk dibangkunya mengerjakan tugas ataupun membaca buku, ah mungkin sedang ke kamar mandi saja, pikirku. Akupun bertanya kepada teman sebangku Randy yang saat itu sedang mengerjakan tugas, “Rizal, kamu tau kemana Randy?” tanyaku pelan, namun Rizal hanya menatapku tanpa berkata sepatah katapun. “hellooo? Kamu denger aku kan?” tanyaku sambil melambaikan tangan ku didepan wajahnya. Rizal pun mulai membuka mulutnya namun tak berbicara seperti menahan kata kata yang ingin ia lontarkan kepadaku, aku pun mengernyitkan dahiku, sebenarnya apa yang ia ingin katakana kepadaku? Entahlah, aku mulai bertambah bingung melihat sikap Rizal yang gugup dan seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku pun memutuskan untuk duduk di bangku Randy dan menatap Rizal dengan penuh yakin. Karena aku tau sikap Rizal yang juga sama sama pendiamnya dengan Randy, tak memungkinkan aku untuk bertanya dengan nada tinggi atau membentak membentak dia untuk menanyakan dimana keberadaan Randy. “Zal, kamu pasti tau kan Randy kemana?” tanyaku pelan dengan senyum lebar menghiasi bibirku. Rizal pun mengangguk pelan dan mulai mempercayai perkataanku. Ia pun mulai membuka mulutnya namun tetap dengan sedikit keraguan terlihat di raut wajahnya. “Vi.. Randy titip pe..san ini untuk ka..mu, tapi sebelum kamu membacanya, kamu harus janji untuk nggak sedih saat membacanya nanti”. Ujar Rizal terbata-bata. Aku pun mulai penasaran sebenarnya pesan apa yang dititipan Randy untuk aku, namun aku berusaha dengan sangat ceria menjawabnya “Iya Zal, tenang aja!”. Rizal pun menyodorkan sebuah surat berwarna putih yang ditulis dengan sangat sederhana dari sobekan buku tulis pelajaran. Aku pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada Rizal serta melambaikan tanganku dan bergegas pergi dari kelas itu.
“Vi, Randynya ada?” Tanya Karin. “nggak ada rin, tapi dia titip surat ini buat aku, tumben banget tuh anak pakai nulis surat segala, biasanya kalau kangen aja langsung nyamperin gue, nggak pake kirim SMS, WA, BBM, atau pun Line! Dia tiba tiba muncul gitu aja, tapi kali ini kok beda ya rin?” jawabku dengan nada sedikit heran. “hmmm mungkin dia lagi sakit atau kemana gitu, terus hapenya ngedrop jadi nggak bisa hubungin kamu Vi!” ujar Karin. “iya mungkin ya, ya udah balik ke kelas yuk, sekalian aku mau baca surat ini”. Ajak Vivi sambil menggandeng tangan Karin.
Aku pun menyusuri koridor kelas menuju kelas IX A bersama sahabat sebangku ku yang selalu mendengar keluh kesah, suka duka ku tentang perjalanan hidupu selama 3 tahun di SMP ini. Setibanya di kelas, suasana kelas masih tetap saja, seperti saat terakhir kali au meninggalkan kelas tadi. Ramai, gaduh dan banyak suara tertawa ataupun menyanyi dengan nada yang tidak teratur dan juga suara fals yang sudah mencapai puncak akhir. Akupun langsung menuju bangku dengan Karin. Tak seorang pun yang menyadari aku dan Karin keluar kelas ataupun sudah masuk ke ruang kelas lagi. Aku tak tau kenapa hatiku terasa cemas ketia akan membuka surat dari Randy. Namun ku beranikan diriku untuk membukanya secara perlahan dan membaca isi suratnya.
“ Vivi, maaf  ya sebelumnya aku nggak bilang dulu sama kamu. Aku cuman nggak sempet untuk bilang sama kamu langsung, karena ini benar – benar mendadak. Akupun juga nggak bermaksud untuk buat kamu sedih. Karena mungkin ini yang terbaik untuk keluargaku. Ayahku diangkat menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah SMA di daerah Surabaya. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtuaku. Jadi aku dengan terpaksa harus ikut mereka untuk pindah ke Surabaya. Surat ini aku tulis tadi pagi, saat kedua orang tuaku menjemputku ke sekolah. Dan saat aku lihat kamu masih mengerjakan ulangan harian, jadi aku memutuskan untuk menulis surat ini dan menitipkannya pada Rizal. Karena aku nggak mungkin untuk mengganggu sahabatku yang sedang mengerjakan ulangan, apalagi jika harus membuatnya sedih nantinya. Semoga suatu hari nanti Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi ya, jangan suka bolos sekolah, apalagi dengerin music saat guru nerangin hehe.. “
                                    Salam manis dari sahabat kecilmu,
Randy Dwitama

            Akupun menutup surat itu dan berlari keluar kelas. Karin yang melihat aku tiba – tiba beranjak dari bangku pun langsung berteriak memanggilku, namun aku tak menghiraukannya sama sekali. Entah saat itu aku tak tau apa yang aku rasakan. Antara sedih, kecewa, marah semuanya beradu menjadi satu. Satu tempat di sekolah ini yang ingin aku tuju, yakni sebuah tempat duduk kecil di taman belakang sekolah tempat aku dan Randy selalu bercanda, bercerita bahkan belajar bersama. Iya, dia tak hanya sosok sahabat, kakak ataupun saudara. Bagiku ia juga guru  private yang setiap saat selalu ada ketika aku tak memahami penjelasan guru dikelas. Maklum aku sering mendengarkan music ditengah pelajaran, entah karena bosan ataupun mengantuk. Hanya hal itulah yang bisa membangkitkan mood dan semangatku kembali. Akupun menangis sejadi-jadinya disana. Aku kecewa sekali mengapa sahabatku itu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal dan bertatap muka bersamaku. Sampai sebuah gadis yang sudah tak asing lagi bagiku menghampiriku dengan membawakan tas sekolahku, “Vi, bel pulang sekolah sudah berbunyi dari tadi, pulang yuk. Nanti kamu bisa ceritain semuanya sama aku” ucap Karin lembut sambil mengelus punggungku. Aku pun mengangguk pelan dan beranjak pulang bersama Karin.

4 Tahun Kemudian…
            Aku duduk disebuah taman kecil didepan kampus yang letaknya berada di jantung kota Malang. Seperti biasanya, aku hanya duduk termenung sambil mendengarkan music favoritku dengan headset yang tak pernah keluar dari tas kecilku. Sekilas aku melihat sahabat kecilku lewat di gerbang kecil yang tak jauh dari tempatku duduk. Namun mana mungkin dia juga berada di kampus ini. Rasanya mustahil jika harus selalu bermimpi bertemu lagi dengannya. Karena selama empat tahun ini aku sama sekali tak mendengar kabar dari dia. Apalagi bertemu dengan sosoknya yang slama ini tak pernah hilang dari ingatanku.
            “Vi” sapa dinda teman sekelasku, “hai din!” ucapku, ia pun menghampiriku dan bertanya tentang tugas yang baru saja diberikan oleh dosen. “vi, uda ngerjain metpen?” ucapnya sambil membolak balik catatan mata kuliah yang sepanjang semester dosennya jarang sekali masuk. “kamu lagi nyari apa? Dosen aja jarang masuk apalagi nerangin? Mana ada catatannya haha” gurauku. Ia pun tertawa keras seraya menutup buku catatannya. “oh iya ya, ngomong ngomong tugas ahir mata kuliah metpen uda kamu kerjain belum? Lihat dong kalau uda selesai” ucapnya. Namun aku hanya tertawa sambil menggeleng pelan. “sama saja kalau gitu vi” ucap dinda kepadaku dan kita pun sama sama tertawa lepas di taman yang sangat favorit di kalangan kampus itu.
            Sudah 4 tahun 2 bulan 3 hari sejak kepergiannya, namun tetap tak kunjung datang kabar dari sahabat kecilku yang sangat aku rindukan itu. Hingga pada suatu hari terdengar bunyi telepon di hpku, kulihat layar hpku. Namun sama sekali aku tak mengenal pemilik nomor telepon yang muncul dilayar hp. Aku tertegun ketika ku terima telepon itu dan ia mengucapan salam. Salam yang penuh dengan kehangatan dan kerinduan. Namun aku tetap tak menjawabnya, hatiku terenyuh mendengar suara yang jelas jelas aku tak pernah melupakannya. Tuhan.. inikah jawaban dari doa-doaku? Ataukah Kau kirimkan padaku sosok lain yang sama sepertinya ataupun menyerupainya? Entahlah. Sampai ia pun mengulangi salam nya hingga tiga kali, dan baru saat itu aku tersadar. Mataku mulai berbinar, kujawab salam nya pelan ia pun tertawa manis. “Apa kabar sahabat ku yang manja dan cerewet ini?” bibirku mulai tersenyum namun masih kaku untuk menjawab pertanyaanya. Tanpa basa basi ia pun langsung berkata “ besok, aku tunggu di taman depan kampus jam 1 siang , tempat kamu biasa melamun haha Bye vivi” ucapnya sambil menutup telepon itu.
Esok harinya di taman kampus..
            Kulihat jam menunjukkan pukul 12.45 saat itu aku baru saja keluar dari kelas karena ada kuliah pengganti minggu lalu. Aku pun langsung mempercepat langkahku menuju taman kampus. Di perjalanan hatiku sangat gugup, jantungku berdetak tak karuan, seperti ingin bertemu dengan seseorang yang tak pernah aku kenal. Sebenarnya aku yakin siapa pemilik suara ditelepon kemarin. Namun aku tak ingin membiarkan rasa penasaranku menggebu menggebu begitu saja. Biarlah 15 menit aku menunggu kedatangannya sambil menenangkan perasaanku yang bercampur asuk menjadi satu.
            Kudengar langkah kaki menghampiriku. Aku pun mulai menerka nerka dalam hati. Benarkah ia yang kemarin menghubungiku. Aku pun menoleh, ia pun tersenyum kearahku. Kulihat sosok laki laki yang tinggi, gagah serta berkulit putih tersenyum dengan sangat manis kepadaku. Aku sama sekali tak mengenali postur tubuhnya, namun wajahnya, wajahnya sama sekali tak berubah. Ia tetap sahabat kecilku yang tampan dan juga lucu. Aku tersenyum lebar, mataku mulai berbinar melihatnya, ingin sekali aku memeluknya karena terlalu merindukan dia. Ia pun menghampiriku dan duduk di sebelahku. “sebenarnya dari dulu kita tak pernah jauh vi..” ucapnya. “maksud kamu?” tanyaku penasaran. “ dari sejak kita SMA aku selalu berada didekatmu, aku tetap bersekolah di mojokerto, aku memperhatikanmu setiap berangkat dan pulang sekolah, bahkan aku pernah mengikuti bis yang kamu naiki saat kamu pulang sekolah. Aku selalu memastikan kamu baik baik saja walau tanpa aku. Dan saat kita berada di perguruan tinggi, aku mencari tau keberadaanmu, sebenarnya aku sudah diterima di universitas negeri di Surabaya, namun aku tetap dengan keteguhanku ingin menjaga dan melindungimu walaupun kamu tak pernah melihatku. Jadi aku memutuskan untuk pindah ke kampus yang sama denganmu vi, hanya saja karena luasnya arena kampus ini, kamu jarang sekali melihatku. Walaupun aku, yah.. selalu melihatmu dan menjagamu dari kejauhan” Randy, sahabat kecilku menjelaskan itu dengan penuh senyum dan sedikit keraguan takut aku tak bisa mempercayai ucapannya.
            Aku pun terdiam, namun aku tak memalingkan wajahku kearahnya, aku berpikir bagaimana mungkin aku tak pernah melihatnya padahal ia selalu berada di dekatku dan mengawasiku? Aku pun mengernyitkan dahiku dan menatap Randy dengan tatapan tajam. Randy pun juga mengernyitkan dahinya, “kamu nggak mau maafin aku ya? Pasti kamu juga nggak percaya yang aku ceritain barusan? Ya sudahlah aku nggak maksa” ujar Randy pasrah. Akupun hanya diam tak menanggapinya. Randy pun ikut terdiam dan mulai memalingkan mukanya, mungkin ia kecewa sekali melihat sikapku. Namun saat ia menoleh lagi kearahku “Taraaaaaaaaaaa” aku pun tertawa puas kearahnya, tak ia sangka aku hanya bercanda dan berpura pura tak memaafkan kesalahannya. Randy pun ikut tertawa dan mengusap kepalaku. Sungguh tak ku sangka sahabat kecil yang selalu kurindukan itu kini kembali lagi.





















Biografi Penulis

Vivi Rokhimatus Sa’diyah atau yang sering disapa vivi ini. Lahir di Mojokerto, pada tanggal 16 November 1995. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa aktif di jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyan dan Keguruan di salah satu universitas negeri di ota Malang. Yakni, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Ia adalah putri kedua dari pasangan ibu Siti Shofiyah, yang sekarang berprofesi sebagai Kepala Sekolah RA hasanuddin 1. Dan ayah Nur Hidayat, yakni Pegawai Negeri Sipil di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kabupaten Gresik.
Cewek scorpio ini sebelumnya pernah menulis 2 buah novel, yang pertama berjudul “A Little Star For Love” dan “Angel Without Wings”. Tak banyak memang, namun ia melakukan hal tersebut untuk mengisi waktu luang saat duduk di bangku SMP dan SMA. Saat duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, ia 12 kali berturut turut menjadi juara 1 dikelas. Yakni, dari kelas 1 sampai kelas 6 SD. Saat SD ia juga menjadi siswi teladan kabupaten Mojokerto, dan menjadi peringkat 1 Hasil Ujian Akhir Madrasah terbaik se Kecamatan Dawarblandong. Selain itu ia juga pernah meraih juara 1 Cerdas Cermat Islam tingkat TPQ se Kecamatan Dawarblandong.
Cewek keturunan jawa asli ini mempunyai hobby bernyanyi. Sejak ia menimba ilmu di TPQ Al-Hidayah ia aktif di kegiatan santri Banjari, dan menjadi vokalis banjari Al-Hidayah selama 3 tahun. Saat masuk di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas ia juga menjadi vokalis banjari di Grup Banjari An-Nukhbah, yakni pelopor grup banjari di Pondok Pesantren Al-Multazam Mojokerto. Ia juga sering mengikuti berbagai lomba banjari di tingkat kabupaten atau provinsi, seperti Festival Santri se Jawa Timur yang biasanya di adakan di Universitas Airlangga setiap tahunnya.
Selain aktif dalam kegiatan santri banjari, saat SMP ia selalu menjadi sekertaris kelas pada 3 tahun berturut-turut, dan juga pernah menjadi ketua kamar di Ponpes Al-Multazam. Pada saat SMA, ia aktif dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah, dan menjadi sekretaris bidang Seni dan Kewirausahaan.

Selasa, 09 Desember 2014



 Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Keluarga
Mungkin semua kita sudah memahami bahwa setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Termasuk juga seorang suami dalam keluarga, adalah pemimpin dalam keluarga yang akan dimintai pertanggung-jawabannya terhadap keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa: 34)
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829).
Namun banyak yang belum memahami bentuk kepemimpinan seorang suami dalam keluarga. Sehingga ketika terjadi kesalahan yang penyimpangan yang terjadi di dalam keluarga, sebagian suami mentoleransi hal tersebut dan tidak merasa itu bagian dari tugasnya sebagai pemimpin. Misalnya ketika seorang istri atau anak perempuannya tidak berjilbab, suami berkata: “saya sebenarnya ingin mereka berjilbab, tetapi saya tidak memerintahkan mereka, biarlah kesadaran berjilbab datang dari diri mereka sendiri“. Atau ada juga suami yang merasa tugas kepemimpinannya hanyalah sekedar “memberi tahu”, semisal ketika anaknya berpacaran (dan pacaran adalah maksiat), ia berkata: “sebenarnya saya sudah sampaikan kepadanya bahwa pacaran itu tidak baik, namun ia sudah dewasa, biarlah ia memilih apa yang menurutnya baik“. Secara common sense saja sebetulnya kita mengakui bahwa yang demikian itu bukanlah pemimpin, atau kalau mau dikatakan pemimpin pun maka pemimpin yang lemah.
Wajibnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Keluarga
Ketahuilah amar ma’ruf nahi mungkar sejatinya wajib bagi semua individu muslim, entah ia sebagai anak, istri ataupun belum berkeluarga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim, 55)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita beramar-ma’ruf nahi-mungkar kepada semua Muslim, dengan tangan jika mampu, apabila tidak mampu maka menasehati dengan lisan atau minimal dengan hati:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان
Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, 49)
Dan amar ma’ruf nahi mungkar dalam ruang lingkup keluarga itu lebih ditekankan lagi wajibnya, Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Wahai orang-orang yang beriiman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. At Tahrim: 6)
Dan bagi seorang suami di dalam keluarga yang ia pimpin, kewajiban ini menjadi lebih wajib lagi. Mengapa demikian? Karena sudah atau belumnya ia mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar dalam keluarganya akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat.
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829).
Dan seorang suami asalnya adalah orang yang paling mampu untuk mengubah kemunkaran dalam keluarganya dengan tangannya atau lisannya. Maka wajib bagi seorang suami untuk memerintahkan keluarga untuk mengerjakan perkara-perkara yang wajib bagi mereka dan melarang mereka dari hal-hal yang dilarang agama. Jadi perlu digaris bawahi, hukumnya wajib, bukan sunnah bukan pula mubah. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi membuat judul bab:
باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ
“Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan:
فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله
“wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan)” (Al Istidzkar, 510)
Jadi tidak benar seorang disebut “ulama” dan juga “cendikiawan Muslim” di negeri kita ini, yang anaknya tidak memakai jilbab, yang berkata: “saya tidak pernah memerintahkannya berjilbab, kalau ia mau berjilbab biarlah itu dari kesadarannya sendiri“. Perkataan yang dianggap bijak oleh orang-orang awam namun merupakan kesalahan yang fatal. Seolah-olah keshalihahan atau kebobrokan keluarganya itu bukanlah tanggung jawabnya. Inilah yang disebut dayyuts, yaitu suami yang tidak mengingkari kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan keluarganya. Cukuplah dalam hal ini ancaman keras dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ
Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, dayyuts (suami yang membiarkan keluarganya bermaksiat), dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063).
Berlaku Hikmah Kepada Keluarga
Setelah mengetahui kewajiban suami untuk beramar ma’ruf nahi mungkar kepada keluarganya, perlu diketahui bahwa hal tersebut semestinya dilakukan dengan hikmah, bukan cara yang serampangan atau kasar. Beramar ma’ruf nahi mungkar diniatkan untuk memperbaiki dan menunjukkan kebaikan, bukan untuk menimbulkan kemungkaran lain atau bahkan yang lebih besar. Demikianlah sifat amar ma’ruf nahi mungkar yang benar kepada seluruh manusia secara umum. Terlebih kepada keluarga, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku” (HR. At Tirmidzi 3895, ia berkata: “hasan gharib shahih”)
Al Munawi menjelaskan: “(aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku) yaitu dalam urusan agama maupun urusan dunia” (Faidhul Qadhir, 3/496). Ibnu ‘Allan mengatakan: “maksud dari (aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku) adalah bahwa beliau adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarga beliau dan paling sabar menghadapi mereka dengan segala perbedaan keadaan mereka” (Dalilul Falihin, 3/105).
Maka seorang suami yang bijak adalah yang senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap keluarganya dengan cara-cara yang baik, penuh kelembutan, kesabaran dan akhlak selain itu juga efektif, kreatif, solutif dan tepat sasaran sehingga tidak menimbulkan friksi-friksi yang justru berujung pada kerusakan yang lebih besar dari kemungkaran yang diingkari.
Hidayah Hanya Milik Allah
Sebagai penutup bahasan ini, penting untuk diketahui bahwa hidayah itu di tangan Allah. Yang menjadi tanggung jawab kita adalah proses, bukan hasil. Adapun hasil, itu di tangan Allah. Kita diperintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang benar, adapun hasilnya apakah keluarga kita menjadi orang bertaqwa ataukah tidak, kelak menjadi penghuni neraka ataukah surga, itu di tangan Allah.
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Bukanlah kewajibanmu apakah mereka mendapat petunjuk (atau tidak), akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah: 272)
Sebagaimana kita sendiri tidak bisa menjamin diri kita berada senantiasa di atas hidayah Allah, kita juga tidak bisa menjamin dan memastikan seseorang untuk mendapat hidayah Allah. Bahkan para Nabi pun tidak bisa memastikan hal tersebut pada keluarga mereka. Ingat kisah Nabi Nuh yang anak-istrinya enggan mengikuti ajakannya untuk bertauhid, juga kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ayahnya tidak mendapat hidayah untuk bertauhid, dan banyak lagi. Yang dituntut darii kita adalah berproses, adapun hasil ada di tangan Allah.
Wabillahi at taufiq was sadaad.